Homoseksual Bukan Penyakit
Suka terhadap sesama jenis adalah suatu hal yang dilarang agama, bahkan di mata hukum. Faktanya saat ini terdapat beberapa negara yang telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebut saja California, Amerika Serikat, atau di negeri kincir angin, Belanda.
“Suka akan sesama jenis, bukan suatu penyakit, melainkan suatu kelainan yang terjadi pada kepribadian seseorang. Si penderita tidak merasakan kalau itu adalah suatu penyakit. Dia merasa baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu,” tutur dokter spesialis andrologi dan konsultan seksual dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, Dr Anita Gunawan SpAnd.
Dia menyebutkan, sampai saat ini penyebab suka terhadap sesama jenis belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku suka terhadap sesama jenis terjadi karena kelainan pada otak si penderita, yaitu adanya sesuatu yang tidak sama dengan manusia normal lainnya.
Kesadaran dari pribadi masing-masing penderita menjadi salah satu cara agar bisa kembali dalam keadaan seperti manusia normal lainnya (tidak suka dengan sesama jenis). Dalam menentukan pilihan, faktor lingkungan sangat memengaruhinya. “Tidak pernah dinyatakan bahwa ada terapi atau pengobatan yang efektif untuk mengubah orientasi seksual seseorang dari homoseksual menjadi heteroseksual. Bila pun ada, lebih didorong kesadaran dalam diri bahwa dia tidak sesuai dengan norma atau tuntutan masyarakat. Kesenjangan antara penderita dan tuntutan lingkungan membuatnya ingin berubah” tutur Clara.
Clara menyebutkan, perubahan dari homoseksual menjadi heteroseksual kembali disebut reorientasi seksual (karena berbalik kembali ke orientasi seksual yang sesuai kodratnya). “Reorientasi seksual dipilih homoseksual (baik gay atau lesbi) ketika mereka menyadari bahwa orientasi yang mereka pilih (sebenarnya) tidak diinginkan oleh mereka,” katanya.
Hastaning menimpali, selama para gay atau lesbi menjadi dirinya di keseharian, mereka yang masih belum mantap memilih salah satu identitas gender yang benar-benar dia pilih, bisa diartikan sebagai transgender. “Transgender adalah suatu istilah payung pada orang yang mempunyai citra diri dan identitas gender yang berbeda dengan gender anatomis atau biologisnya,” tutur Hastaning.
Hastaning menjelaskan, batasan usia kematangan seksual seseorang saat ini sangat kabur untuk disebutkan dalam satu angka usia kronologis.
Pada dua dekade lalu, kita masih bisa menganggap seseorang telah dewasa ketika sudah akil baliq yaitu usia 13 tahun atau 14 tahun. Namun, pada masa sekarang, kematangan seksual sangat mungkin terjadi pada usia dini sekitar 9 tahun atau 10 tahun. “Banyak faktor yang memengaruhi hal ini. Di antaranya, faktor gizi yang baik, pengaruh media elektronik, media komunikasi personal (handphone), VCD porno, dan sebagainya. Karena itu, sering kita jumpai ada anak gadis yang berusia 9 tahun sudah mendapatkan menstruasi dan anak laki-laki pada usia 10 tahun sudah mimpi basah,” ucapnya.
Proses transgender bukan merupakan proses yang mudah. Walaupun perilaku seperti ini dilarang agama, sikap yang perlu dilakukan dalam menolong mereka, di antaranya dengan menghargai pilihan mereka. Sikap menghargai ini bisa dijadikan salah satu upaya untuk membantu mereka menentukan pilihan.
Demikian pula masyarakat harus melakukan kontrol atas lingkungannya. Jika ingin membantu mereka untuk keluar dari keadaan yang demikian. “Ubah gaya hidupnya atau menghargai perasaan mereka adalah perbuatan yang mereka harapkan,” pesan Hastaning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar