hasil pencarian

Selasa, 26 Agustus 2008

Taman, Prasasti Ingatan

Tak ada hujan di dua hari ini. Kemarau –musim yang kubenci– tampaknya, mulai bertandang. Pagi tadi, uap embun pun tak kurasakan bersisa di ujung pohon singkong, yang memagari taman belakang rumahku. Udara memang masih dingin, dingin yang kering. Mawar ungu, yang dahan berdurinya menjuntai, kelopak kembangnya tak menyisakan bintik air sisa malam. Juga talas hutan, telapak daunnya mengasap, menahan kering.

Aku pun telah merasakan kemarau, di dadaku.

Kemarau adalah bunga yang menguning satu-satu, lalu layu. Talas yang berubah hijau tua, juga tanah yang ditinggalkan rerumputan, menandus, dan merekah, beretakan. Aku tahu betul metamorfosa alam itu. Dari jeruji jendela kamarku yang menghadapi taman, perubahan itu selalu terbaui hidungku. Setiap tahun, jika kemarau mampir, siklus sikap tetumbuhan di tamanku itu nyaris sama. Di sisi kanan taman, yang dipagari koral-koral bulat sekepalan, akan terbaring selang. Pagi dan sore, jika sempat, kusemburkan air, menepikan kemarau.

Karena, hanya taman itulah yang bisa mengusir kemarau, di dadaku.

Tamanku berada di bagian belakang rumah. Tak luas, 9×7 meter, di lingkari teras. Di taman itulah masa kanakku terpahatkan. Rumput Jepang yang menjadi alas tanah, membuat aku bebas bermain, tanpa takut jatuh dan terluka. Pinus paro-baya besar, tempat bersandar, ketika lelah mulai menggoyahkan kakiku. Saat menyandar di pinus itu, dapat kulihat seluruh bagian belakang rumah. Meski tak pernah bisa lama aku melepas lelah bertopang dagu. Papa yang biasanya duduk sembari membaca koran, akan memanggilku, memintaku masuk dalam pelukannya, memangku. Papa akan meminumkan teh dari gelasnya, mengusap keringat dari keningku sebelum mendaratkan ciumannya, dan berbisik pelan di telingaku, “I love you.” Papa lalu membacakan koran dengan suara yang cukup keras, meski aku acap tak mengerti. Tak lama, Papa pasti menggelar kolam-kolaman plastik, mengisikan air, dan membiarkan aku bermain di dalamnya, sepuasnya. Sesekali Papa akan mengangsurkan gelasnya, memaksaku mereguk teh pahit hangat kesukaannya.

Itulah rutinitas pagiku di hari Minggu. Bertahun lalu.

Di taman, masih kulihat jelas jejek-jejak kemesraan itu. Pinus itu telah kian menua, dengan batang yang membersih di bagian bawahnya, karena terlalu sering kusandari. Mawar ungu telah berganti beberapa kali. Nyaris tiap awal penghujan, ditanam mawar-mawar baru, mengganti mawar lama yang pasti mati. Hanya talas hutan itu yang kuat bertahan, dengan cara menuakan kehijauan daunnya. Rerumputan Jepang pun menguningkan diri, sebagian mati. Meski nanti ketika hujan datang, seperti disihir, mereka menghijau lagi.

Kemarau memang mengubah tamanku. Tapi setiap penghujan, mereka akan kembali. Utuh lagi.

Cuma aku yang tak bisa kembali. Ditinggalkan masa lalu, masa kanakku.

“Menjadi gadis,” kata Papa, “adalah meluangkan waktu untuk diri sendiri. Menjadi gadis adalah rajin bertanya, apa yang aku maui untuk hidupku.”

Aku mau kembali menjadi anak kecil Papa, yang disulangi ketika lapar, dan dipangku sembari minum teh bersama. Aku mau bermain air bersama, bergulingan di taman, dan berpura-pura jatuh dan terluka. Aku mau digendong, diayun-ayunkan, atau duduk di pundak Papa, dan memandang taman dari ketinggian tubuhnya. Aku mau dibedaki, diminyaki, diparfumi, sebelum dipakaikan kemeja atau celana. Aku mau semua hal yang dulu begitu indah dan mengundang tawa. Aku mau….

Tapi, “Bukan itu, Ila. Bukan itu. Semua yang kamu inginkan itu masih ada. Akan selalu ada, dalam wujud yang beda. Ila cuma harus menerima perubahan kemesraan kita. Karena Ila sudah dewasa,” jelas Papa.

Papa, kalau harus kehilangan semua itu, aku tak mau jadi gadis, apalagi dewasa. Aku tidak mau, Papa…

Tidak ada komentar: